Minggu, 21 September 2008

Multi Partai Cerminkan Asas Politik “Homo Homini Lupus”

Banyaknya partai politik yang akan bertarung pada Pemilu 2009 menunjukkan indikasi bahwa perpo­litikan di Indonesia masih menganut asas “homo homini lupus”.

“Jumlah 34 parpol merupakan indikasi besarnya keinginan untuk berkuasa sebagai alat untuk menen­tukan kebijakan pemerintah,” kata Presiden Perjuangan Hukum dan Politik (PHP) HMK Aldian Pinem SH MH di Medan, Kamis.

Menurut dia, naluri dasar dari se­buah parpol adalah ingin menga­lahkan parpol lain dan bermaksud “menghambakan” lawan politiknya.

Fenomena tersebut sesuai dengan semboyan “homo homini lupus” (sebagian manusia menjadi serigala bagi manusia lain) yang pernah di­populerkan Thomas Hobbes (1588-1679).

“Dengan kata lain, sebuah parpol akan menjadi serigala yang akan ‘memangsa’ parpol lain,” katanya.

Ia menambahkan, aspek negatif lain dari banyaknya parpol adalah semakin banyak pula praktik agitasi, sugesti, “black campaigne”, “money politic” dan perbuatan lain yang dilakukan dengan menjadikan ma­syarakat sebagai objek untuk me­menangkan pemilu.

Selain itu, banyaknya jumlah parpol yang akan mengikuti pemilu dapat menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat, khususnya kalangan pedesaan yang berpotensi menjadi “sasaran empuk” parpol yang menganut asas “homo homini lupus” tersebut.

Pemerintah perlu menerapkan prinsip persatuan dan kesatuan yang tercantum dalam Pancasila dengan menggabungkan partai yang satu asas, seperti Islam, Kristen, Nasio­nalis dan Intelektual, katanya.

Berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 yang sudah di depan mata yang diikuti oleh banyak parpol, pemerintah dan KPU perlu menyusun konsep agar pelaksanaan “pesta demokrasi rakyat” itu dapat diikuti parpol dengan jumlah ter­tentu.

Energi dan biaya yang begitu besar dikeluarkan dalam pemilu yang diikuti banyak parpol itu hanya mengakibatkan Indonesia semakin miskin dan bangkrut, katanya.

ANT | Global | Medan

Senin, 15 September 2008

Demokrasi di Indonesia

Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi.

Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yang tidak banyak disadari itu, membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab disapa SBY menerima anugerah medali demokrasi. SBY pun memaparkan panjang lebar perjalanan demokrasi Indonesia. Menurutnya, demokrasi Indonesia merupakan jawaban terhadap skeptisme perjalanan demokrasi di negeri ini. Beliau pun mencontohkan beberapa nada skeptis yang ditujukan kepada Indonesia. Pertama, demokrasi akan membawa situasi kacau dan perpecahan. Demokrasi di Indonesia hanyalah perubahan rezim, demokrasi akan memicu ekstrimisme dan radikalisme politik di Indonesia.

Beliau pun menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia menunjukkan Islam dan moderitas dapat berjalan bersama. Dan terlepas dari goncangan hebat akibat pergantian 4 kali presiden selama periode 1998-2002, demokrasi Indonesia telah menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain itu, Indonesia juga telah berhasil menjadi sebuah negara demokrasi terbesar di dunia dan melaksanakan pemilu yang kompleks dengan sangat sukses.

Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kenyataannya demokrasi di Indonesia saat ini telah berusia 10 tahun dan akan terus berkembang. Sebagian orang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di Indonesia, karena masyarakatnya belum siap. Mereka juga pernah mengatakan bahwa negara Indonesia terlalu besar dan memiliki persoalan yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai kekhawatiran yang dapat membuat Indonesia chaos yang dapat mengakibatkan perpecahan.

Sementara itu, mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang turut hadir menyebutkan bahwa demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi. Dia juga berharap agar perkembangan ekonomi juga makin meyakinkan sehingga demokrasi bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut tentunya bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan kekayaan hanya pada elit tertentu.

Demokrasi, menurut Anwar Ibrahim, adalah pemberian kebebasan kepada warga negara, sedangkan kegagalan atau keberhasilan ekonomi menyangkut sistem yang diterapkan.

Membangun Budaya Demokrasi melalui Pendidikan

Perilaku elite politik politik partai “kecil” yang menyangsikan kejurdilan Pemilu 1999 tanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bertingkah “inkonstitusional” dengan tetap bertahan diri meskipun partainya jelas-jelas tidak dipilih rakyat atau minta jatah kursi di parlemen yang amat-sangat tidak rasional, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan.

Tampaknya, menerima kekalahan menjadi sebuah idiom yang amal mahal harganya. Ada saja “manuver” yang mereka lontarkan untuk membentuk opini publik bahwa partainya telah dicurangi, dipinggirkan, atau dijegal.
Pada satu sisi, kondisi semacam itu memang bisa menjadi sinyal dinamika politik yang bertahun-tahun lamanya terpasung dalam belenggu rezim Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain, hal itu bisa memberikan citra demokrasi yang tidak sehat bagi rakyat, bahkan akan menjadi bumerang bagi elite politik itu sendiri dalam membangun dan mengibarkan bendera partainya pada masa-masa mendatang. Rakyat jadi kehilangan simpati dan kepereayaan.
Terlepas dari hiruk-pikuk politik yang hingga kini masih dan akan terus berlangsung, agenda penting dan urgen untuk segera digarap ialah membangun budaya demokrasi yang sehat, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi dan andal terhadap sikap fair, jujur, ksatria, elegan, dan lapang dada terhadap apa pun hasil yang telah disepakati bersama lewat proses demokrasi. Jangan sampai terjadi, “trik-trik” politik yang tidak sehat semacam itu menjadi “patron” dan referensi bagi generasi berikutnya dalam memangun demokrasi. Harus ada upaya serius dan intens untuk menyosialisasikan cara-cara demokrasi yang ideal secara simultan dan berkelanjutan.
***

Ironis memang. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk membangun Indonesia Baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih, berwibawa, reformatif, dan legitimated, justru tidak sedikit politisi yang berkarakter oportunis, arogan, dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan secara diametral terhadap prinsp-prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Padahal, harus diakui, mereka memiliki kualifikasi pendidikan formal yang tinggi. Bejibun jumlah politisi jeblan Sl, S2, S3, bahkan yang bergelar profesor sekalipun.
Fenomena di atas tentu menarik disimak, sebab ada kecenderungan asumsi, tinggi-rendahnya tingkat pendidikan tidak (kurang) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat. Kalau demikian. apakah selama ini duniapendidikan memang nihil dari sentuhan pembelajaran demokrasi? Tidak adakah ruang berdemokrasi dalam wacana pendidikan kita sehingga (nyaris) mandul dalam melahirkan demokrat-demokrat ulung, cerdas, dan andal? Upaya apakah yang mesti dilakukan agar dunia pendidikan mampu menaburkan benih-benih demokrasi kepada peserta didik’? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting dan relevan untuk dilontarkan dan dijawab, sebab kita semua tidak menginginkan dunia pendidikan kita terjebak menjadi ruang untuk “meng-karantina” peserta didik dari persoalan-persoalan riil kebangsaan dan steril dari budaya demokrasi.
Diakui atau tidak, terkesan ada “konspirasi” di tingkat elite penguasa Orde Baru untuk membikin sakit, bahkan mematikan atmosfer demokrasi dalam dunia pendidikan kita. Kebijakan yang disusun secara sentralisasi-otoriter — tanpa memperhatikan aspirasi arus bawah disadari atau tidak, telah menumbuhsuburkan virus “sindrom” yang antidemokrasi dalam bentuk indoktrinasi dan tekanan-tekanan terhadap praktisi pendidikan di lapangan. Beda pendapat “diharamkan”, daya inisiatif dimatikan. Sikap kritis pun ditabukan. Semua harus mendongak dan menanti petunjuk dari atas.
Sistem pendidikan berikut perangkat regulasinya telah dipola dan dikemas demi kepentingan kekuasaan an-sich. Sikap demokratis pun luput dari jangkauan pasal 4 UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Adakah di sana sikap demokratis menjadi salah satu aspek yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan naisonal? Sementara itu, mulai dari tingkat SD hingga SLTA, peserta didik telah dibiasakan untuk menjadi “anak Mami” yang manis, manutan, dan dilarang bertanya. Ruang belajar telah berubah fungsi menjadi tembok pemasung yang membelenggu kebebasan berpikir, berkreasi, bernalar, berinisiatif, dan berimajinasi. Beratnya beban kurikulum yang mesti dituntaskan telah membuat proses belajar-mengajar menjadi kehilangan ruang berdiskusi, berdialog, dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Sedangkan, di tingkat perguruan tinggi, mahasiswa dibutakan dari persoalan-persoalan politik praktis, mesti berkutat memburu ilmu di puncak menara gading yang hendak dijadikan “robot” penguasa dalam mengejar ambisi pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Akibatnya, setelah lulus mereka menjadi asing ditengah-tengah rakyat, tidak paham bahasa rakyat. Dalam kondisi demikian, mana mungkin out-put pendidikan kita mampu menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang berdialog? Mustahil mereka bisa menghargai perbedaan pendapat –sebagai salah satu esensi demokrasi– kalau iklim belajarnya berlangsung monolon.
Boleh jadi, memang sudah harus menjadi keniscayaan sejarah (historical necessity) jika dunia pendidikan kita selama ini “tertidur pulas” di atas “ranjang” rezim Orde Baru. “Nasi telah menjadi bubur,” kata orang. Belajar dari pengalaman buruk semacam itu, kini tiba saatnya dunia pendidikan diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi peserta didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat sejati yang punya rasa malu, rendah hati, berjiwa besar, toleran, memiliki landasan etik, moral, dan spirituaJ yang kokoh ketika bertarung dalam rimba polilik. Apalagi, era millenium ketiga yang diyakini akan menghadirkan banyak tantangan krusial dan perubahan global seiring dengan akselerasi keluar-masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia akan segera kita masuki, ranah demokrasi jelas akan ikut menjadi penentu citra, kredibiltias, dan akseptabilitas bangsa kita sebagai salah satu komunitas masyarakat dunia.
Itu artinya, mau atau tidak, dunia pendidikan –sebagai “kawah candradimuka” dalam mencetak sumber daya manusia yang bermutu dan profesional– harus mempersiapkan generasi yang demokratis, sehingga memiliki sikap resistence yang kokoh di tengah-tengah “konflik peradaban” (clash of civilization), di antaranya, pertama, sikap demokratis harus menjadi salah satu aspek yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan nasional. UU No. 2/1989 yang rnengebiri makna demokrasi bagi anak bangsa perlu direvisi dan dirumuskan kembali secara utuh dan komprehensif.
Kedua, kurikulum yang diberlakukan harus memberikan ruang yang ukup bagi peserta didik untuk belajar menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi. Mereka harus diberi kemerdekaan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan lewat debat, diskusi, dan adu argumentasi dengan tetap mengacu pada nilai kebenaran dan nilai luhur baku.
Dan ketiga, para birokrat dan praktisi pendidikan dituntut “good-will”-nya untuk memberikan teladan cara-cara berdemokrasi yang sehat. Dalam iklim masyarakat kita yang masih cenderung paternalistik, contoh dan tindakan nyata akan lebih bermakna ketimbang retorika maupun ucapan verbal lainnya.
Tidak kalah pentingnya, iklim demokrasi pun harus sudah mulai ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, sehingga institusi pendidikan lebih maksimal mengembangsuburkannya. Apabila iklim demokrasi tumbuh secara kondusif yang pada gilirannya akan menjadi sebuah budaya, maka rasa sakit hati, dendam, mencari-cari “kambing-hitam” akibat kekalahan dalam sebuah demokrasi tak akan terjadi. Yang menang pun tidak akan selalu menepuk dada. Dalam sebuah demokrasi, kalah dan menang adalah wujud dinamika yang indah dan niscaya. ***
(Suara Karya, 5 Agustus 1999)

Kamis, 04 September 2008

In Memoriam Sri Paus Yohanes Paulus II

Oleh: Abdurrahman Wahid

GusDur-Paus Seperti Sri Paus Yohanes Paulus II yang sekian lama menjadi pemimpin rohani tertinggi umat Katholik seluruh dunia, tiap-tiap orang Paus memiliki watak sendiri-sendiri. Jika Paus Yohanes XXIII, terkenal sebagai pemimpin Katholik yang mendorong perubahan demi perubahan, seperti terlihat dalam Konsili Vatikan II, maka Sri Paus Yohanes Paulus II “justru” mengaplikasikan rem agama sekuat-kuatnya agar tidak berjalan menyimpang dari ajaran formal Gereja tersebut. Tetapi hal itu tidak menjadikan Gereja seperti jaman sebelum Paus Yohanes XXIII, karena Gereja Katholik Roma tetap berada pada bidang aktivitas masyarakat dengan ensiklik Mater et Magistra sebagai kelanjutan dari ensiklik Paus Leo XIII berjudul Rerum Novarum yang membahas masalah aktivitas gerakan buruh. Sri Paus Yohanes Paulus II tidak mundur dari bidang tersebut, yang terjadi hanyalah “terhentinya” pembaharuan-pembaharuan dalam hubungan Gereja Katholik Roma dengan gerakan-gerakan keagamaan yang lain. Ini terjadi mungkin karena Beliau mengkhawatirkan akibat-akibat yang dapat merubah seluruh doktrin Gereja tersebut, umpamanya saja, paham-paham yang disebarkan oleh Teologi Pembebasan (Liberation Theology), yang dirintis oleh Leonardo Boff di Amerika Latin. Ia takut, akibat-akibat dari paham itu akan merombak kehidupan Gereja Katholik Roma secara fundamental, sehingga di kemudian hari sulit “dikembalikan”.

Sebagai seorang pemerhati perkembangan internal Gereja tersebut, penulis tentu saja mempunyai pendapat sendiri mengenai sikapnya tersebut. Tetapi penulis dapat mengerti perasaan dan jalan pikiran mendiang Sri Paus Yohanes Paulus II. Walaupun konservatisme yang diperlihatkan Beliau, tidak sedikitpun mengurangi gerak Gereja itu di bidang kemasyarakatan. Kombinasi dua hal itu -konservativisme dan bidang kemasyarakatan- sekaligus di satu masa, adalah sebuah keunikan yang jarang terjadi dalam sejarah manusia.

Perlu diingat akan sikap Paus Yohanes Paulus II yang memberikan maaf kepada Mehmet Ali Agca seorang berkebangsaan Turki yang menembaknya, disamping sikap-sikapnya yang menentang perang, menunjukkan kepribadian Beliau yang sangat menarik. Di tengah-tengah berbagai bencana alam, seperti gempa bumi di Pulau Nias dan Pulau Simeuleu, sikap Paus Yohanes Paulus II itu menunjukkan sesuatu yang sangat menyegarkan dalam hubungan antar manusia. Melalui tulisan ini, penulis menyampaikan SELAMAT JALAN dan SELAMAT BERPISAH UNTUK SEMENTARA kepada tokoh kita ini.

Jakarta , 3 April 2005

Penulis adalah pendiri The Wahid Institute

Paus Yohanes Paulus II (1920 - 2005)




Pujian Dunia Bagi Sri Paus Menyertainya Berpulang

*** KOTA VATIKAN--MIOL: Saat dunia berduka atas berpulangnya Sri Paus Paulus Yohanes II, Sabtu malam, ribuan umat Katholik dari berbagai penjuru dunia mulai berhimpun di Vatikan, Minggu, untuk menyampaikan rasa duka mereka.
Puluhan ribu umat yang berduka itu memasuki Roma terdorong oleh rasa kasih mereka terhadap pemimpin 1,1 miliar umat Katholik Roma yang dinyatakan resmi telah berpulang pada Sabtu malam pukul 21.37 waktu setempat (atau pukul 03.37, Minggu dinihari WIB).
Paus yang bernama asli Karol Wojtyla asal Desa Krakow, Polandia wafat pada 84 tahun, dua hari setelah menderita gagal jantung yang disebabkan oleh masalah pernafasan akut dan infeksi lainnya, menurut pengumuman resmi Vatikan.
"Bapak suci kita terkasih telah kembali ke rumah Tuhan," kata Uskup Agung Leonardo Sandri, yang mengumumkan kabar duka itu kepada puluhan ribu umat yang memadati lapangan di di bawah jendela kamar Sri Paus. Umat sebelumnya berhimpun guna berdoa bagi keajaiban untuk kesembuhan Paus.
Surat-surat kabar Italia mengungkapkan "amin" adalah kata terakhir yang terucap dari bibir tokoh di balik penghancuran tirani tirai besi komunis Soviet di Eropa Timur dan Uni Soviet saat detik-detik terakhir sebelum kepergiannya untuk selama-lamanya.
Misa Requiem pertama dilaksanakan Minggu pagi di Lapangan Santa Petrus, dihadiri sedikitnya 80.000 umat. Namun jenazah Sri Paus baru akan bisa diperlihatkan kepada umat pada sekitar Senin petang Basilika Santa Petrus, menurut pengumuman Vatikan.
Kabar berpulangnya Sri Paus membawa derai airmata bagi umat Katholik di seluruh muka bumi, dan memicu mengalirnya sungai kedukaan. Kabar pada Sabtu malam itu diperkirakan akan melahirkan arus masuk umat dalam jumlah terbesar sepanjang ingatan sejarah kota Roma.
"Ia telah menyeru kepada kami dan kamipun datang," kata Giuseppe Incarnati, salah seorang jemaah yang telah bergegas mendatangi Vatikan dari Naples.
Pernyataan-pernyataan memuji Sri Paus deras pula terdengar, baik dari kalangan pemimpin Barat maupun Timur, Kristiani maupun Muslim dan Yahudi.
"Gereja Katholik telah kehilangan gembalanya. Dunia telah kehilangan pahlawan kebebasan kemanusiaannya," kata Presiden Amerika Serikat George W. Bush dalam pernyataannya di Gedung Putih beberapa jam setelah kabar duka diumumkan Vatikan.
Syeikh Agung Al-Azhar Prof Dr. Mohamad Sayed Tantawi menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Sri Paus Johanes Paulus II seraya mengengenang bahwa pemimpin umat Katholik se-dunia itu "telah mewariskan prinsip-prinsip dasar dialog antar-agama."
"Mendiang Sri Paus Paulus II telah meletakkan prinsip-prinsip dasar dialog antar-agama yang merupakan warisan pemikiran berharga bagi perdamaian umat manusia," kata Syeikh Al-Azhar, dalam pernyataannya setelah diumumkan Sri Paus Paulus Yohanes II telah berpulang pada Sabtu (2/4) malam (Minggu dini hari WIB).
Pemimpin universitas Islam tertua di dunia, yang telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan Sri Paulus II untuk upaya dialog-antar Islam-Kristen itu. Syekh memuji mendiang sebagai tokoh dunia yang ikhlas dan tabah memperjuangkan perdamaian antar-umat beragama.
"Dunia membutuhkan keikhlasan dan kejujuran seorang pemimpin dalam memperjuangkan perdamaian dan kedamaian umat manusia, dan hal itu telah ditunjukkan oleh mendiang yang patut diwarisi," kata Syekh Al-Azhar.
Presiden Iran Mohammad Khatami telah mengirim pesan resmi belasungkawa sehubungan dengan meninggalnya Paus Johannes Paulus II, dan memujinya sebagai pencari "kebenaran, keadilan dan perdamaian".
"Paus Johannes Paulus II adalah murid mistisisme agama, penyampai filsafat dan pikiran serta kreativitas puisi dan seni," kata Khatami dalam surat yang dikirim kepada Menteri Luar Negeri Vatican Angelo Sodano.
"Dengan menekankan ajaran dan pengalamannya, (ia) dengan penuh semangat berusaha memanfaatkannya di jalan kemenangan kebenaran, keadilan dan perdamaian," kata Khatami yang mengadakan pertemuan bersejarah dengan Paus pada 1999.
Presiden Iran itu, ulama tingkat menengah Syiah, juga menyeru Vatikan untuk mempertahankan ajaran Paus Johannes Paulus II bagi dialog antar-agama.
"Pemimpin Kristen Katholik, dengan mengikuti ajaran Yesus dan melalui hubungan dengan pemimpin agama-politik yang mencari keadilan serta mencintai perdamaian dan juga dengan mengikuti pikiran kemanusiaan serta etis Paus II, diharapkan dapat membantu dunia menuju hidup yang lebih baik dan adil," kata Khatami dalam suratnya yang juga disiarkan oleh media resmi.
Sembilan puluh sembilan persen warga Iran beragama Islam, kebanyakan beraliran Syiah. Terdapat sebanyak 80.000 pengikut Kristen, 10.000 di antara mereka pengikut Katholik.
Uskup Katholik Iran Ramzi Girmou, dalam suatu pernyataan singkat, mengatakan, "Kami akan berdoa bagi jiwanya, dan berharap dalam waktu dekat akan memiliki pengganti yang akan memimpin gereja dan melayani umat manusia."
Rakyat Palestina dan para pemimpinnya juga menyatakan duka mendalam atas berpulangnya Paus. "Sri Paus dalam tokoh dialog dan perdamaian yang turut berperang dalam perjuangan suci Palestina," kata Presiden Mahmud Abbas, lewat pernyataannya yang disampaikan kantorberita Palestina.
PM Palestina Ahmad Qurie juga menyatakan pujiannya terhadap mendiang, dan menyebutkannya sebagai "pelindung hak-hak Palestina" dan "teman baik rakyat Palestina."
Wakil PM Malaysia Najib Tun Razak menyatakan "berpulangnya Paus sebagai kehilangan besar bagi dunia" dan ia berharap pemimpin umat Katholik penggantinya akan melanjutkan perjuangan mendiang melawan ketidakadilan di dunia.
"Ia merupakan pendukung resolusi-resolusi perdamaian Asia Barat dan masalah Palestina, beliau juga menentang perang terhadap Irak," kata Najib tun Razak, yang dikenal sebagai pemimpin masa depan di Malaysia itu.
Dari Nias, di mana misa pertama khusus dilaksanakan untuk mendoakan Paus sejak pulau itu luluh lantak oleh gempa bumi dahsyat pekan lalu, sampai Brazil, Filipina, China, Afrika Selatan, Jerman hingga Vietnam, dilaksanakan doa bagi mendiang.
Banyak negara menyatakan hari berkabung nasional sehubungan dengan berpulangnya Paus, Polandia yang tanah kelahiran Paus menyatakan masa berkabung enam hari dan kuba yang berpemerintahan komunis, berkabung nasional tiga hari.
Vatikan mulai sibuk menyiapkan kedatangan sedikitnya 200 pemimpin negara dan pemerintahan di dunia yang akan menghadiri pemakaman Paus, yang diperkirakan akan sudah bisa dilaksanakan antara Rabu hingga Jumat mendatang.
Konklaf (pertemuan tertutup para kardinal untuk memilih Paus baru) akan mulai dilaksanakan dalam waktu 15-20 hari mendatang, dengan 117 kardinal seluruh dunia berkumpul di Kapel Sistin dalam proses tersebut.
Begitu seorang Paus baru terpilih, seorang pejabat Vatikan akan membakar kertas suara pemilihan dengan bahan kimia khusus sehingga akan tercipta asap putih dari cerobong asap kapel itu, tanda seorang Paus baru telah terpilih.
(Reuters/AFP/Ant/Ol-1)

Syeikh Al-Azhar: Paulus II Wariskan Prinsip Dialog Antar Agama

KAIRO--MIOL: Syeikh Agung Al-Azhar Prof Dr. Mohamad Sayed Tantawi menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Sri Paus Johanes Paulus II seraya mengengenang bahwa pemimpin umat Katholik se-dunia itu "telah mewariskan prinsip-prinsip dasar dialog antar-agama."

"Mendiang Sri Paus Paulus II telah meletakkan prinsip-prinsip dasar dialog antar-agama yang merupakan warisan pemikiran berharga bagi perdamaian umat manusia," kata Syeikh Al-Azhar, dalam pernyataannya setelah diumumkan Sri Paus Paulus Yohanes II telah berpulang pada Sabtu (2/4) malam (Minggu dini hari WIB).

Pemimpin universitas Islam tertua di dunia, yang telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan Sri Paulus II untuk upaya dialog-antar Islam-Kristen itu. Syekh memuji mendiang sebagai tokoh dunia yang ikhlas dan tabah memperjuangkan perdamaian antar-umat beragama.

"Dunia membutuhkan keikhlasan dan kejujuran seorang pemimpin dalam memperjuangkan perdamaian dan kedamaian umat manusia, dan hal itu telah ditunjukkan oleh mendiang yang patut diwarisi," kata Syekh Al-Azhar.

Al-Azhar dan Tahta Suci Vatikan secara fundamental telah menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) pada 1997 mengenai prinsip-prinsip dasar dialog antar Islam-Kristen.

Prinsip-prinsip dialog Islam-Kristen yang ditandatangani

Vatikan-Al-Azhar itu, antara lain menyebutkan bahwa dialog hendaknya

masing-masing pihak secara ikhlas dan jujur menghormati pemikiran yang diajukan, namun sama sekali menghindari pemikiran yang menyerang

nilai-nilai sakral yang dianut pihak lain.

"MMisi utama dialog adalah mengupayakan perdamaian dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, di mana umat Kristiani-Muslim wajib hidup berdampingan secara damai kapan dan di mana pun mereka berada," demikian antara lain inti MOU yang ditandatangani Al-Azhar-Vatikan.

Sebelumnya, Al-Azhar menyampaikan pujian dan penghargaan yang

setinggi-tingginya atas kebranian Sri Paus, yang pada awal tahun 2000, secara terbuka menyampaikan permintaan maaf kepada umat Islam mengenai Perang Salib pada Abad Pertengahan.

Perang Salib yang diserukan Paus Urban III (1042-1099) pada tahun 1095 untuk merebut Kota Suci Jerusalem dari kekuasaan Islam itu, oleh para sejarawan, dinilai sebagai puncak konflik umat Kristiani-Muslim, yang merembet hingga beberapa dekade berikutnya.

Kurang lebih seabad berikutnya, muncul pahlawan legendaris Islam, Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1137-1193), kembali merebut Kota Suci Jerusalem, dalam perang dahsyat selama tiga tahun (1189-1192), melawan Richard I dan Inggris dan Philip II dari Perancis, yang ketika itu secara bersama mengusai Jerusalem.

"Sejarah kelam konflik Kristen-Muslim ini hendanya tidak terulang lagi di mana dan kapan pun. Dan hal itu dapat tercapai lewat dialog antarpemimpin agama yang terus-menerus dari generasi ke generasi, sebagaimana telah diletakkan prinsip-prinsipnya oleh almarhum Sri Paus John Paulus II," demikian Syeikh Al-Azhar.

Pendirian Pope John Paul II disegani

Oleh MARKUS LIM (WARTAWAN UTUSAN)
Kematian Ketua Gereja Roman Katolik, Pope John Paul II ataupun nama sebenarnya Karol Josef Wojtyla tepat pukul 3.37 pagi semalam (waktu Malaysia) ditangisi oleh jutaan penganut Kristian mazhab Katolik di seluruh dunia.
Dari Dataran St. Peter di Vatican hingga ke Paris dan kemudiannya Mexico sehinggalah ke Manila, para penganut berkumpul di gereja bagi menghulurkan doa kepada seorang pemimpin agama yang telah memperjuangkan banyak isu kemanusiaan dan kesaksamaan sepanjang tempoh hampir 27 tahun sebagai ketua agama.
Sekali imbas, John Paul II merupakan pope pertama dari luar Itali diberikan mandat untuk menerajui gereja Roman Katolik dalam tempoh 455 tahun. Sebelum ini, kebanyakan pope yang dilantik adalah dari kalangan bangsa Itali sendiri.
Apa pun, di sebalik pelantikan beliau, dunia dapat menyaksikan bagaimana pendirian John Paul II dalam pelbagai isu seperti memulihkan hubungan Islam-Kristian, penentangan terhadap perang di Iraq serta pelopor kepada keamanan sejagat. Pendirian beliau itu disegani dan dihormati bukan sahaja oleh penganut Kristian bahkan juga umat Islam di seluruh dunia.
Mendiang yang dilahirkan pada 18 Mei 1920 di Wadowice, Poland, merupakan pengganti ke-264 kepada St. Peter dan yang termuda dalam tempoh 100 tahun. Pada 1938, John Paul II melanjutkan pelajaran di Universiti Jagellonian. Namun apabila tentera Nazi menawan Poland, beliau terpaksa bekerja sebagai buruh paksa bagi mengelakkan pengusiran. Selepas tamatnya Perang Dunia Kedua, John Paul II secara senyap-senyap belajar untuk menjadi seorang paderi.
Hasilnya, beliau dilantik sebagai paderi pada tahun 1946 dan bermula dari pelantikan itu, perjalanan John Paul II dalam menyebarkan dan memperjuangkan isu-isu kemanusiaan kian terserlah. Selanjutnya pada 1963, beliau dilantik sebagai `Archbishop' di Krakow, Poland sebelum dinaikkan pangkat sebagai `Kardinal' empat tahun kemudian.
Gaya John Paul II yang lebih suka berinteraksi dan berdialog dalam menyelesaikan sesuatu konflik serta komitmen beliau dalam memerangi masalah kebuluran meletakkan namanya diiktiraf sebagai `Champion of the Weak'.
Sepanjang hayatnya, mendiang juga mencetuskan pelbagai kontroversi dengan melaksanakan pelbagai pembaharuan yang ada kalanya tidak disenangi oleh penganutnya sendiri.
Umpamanya, pendirian beliau untuk mengharamkan pelantikan golongan wanita sebagai paderi, mengharamkan pencegahan hamil, homoseksual, perceraian serta keruntuhan nilai-nilai murni tradisi dalam keluarga.
John Paul II juga akan dikenang sebagai pemimpin Katolik pertama dalam sejarah yang menjejakkan kaki ke dalam Masjid Umayyah di Damsyik, Syria empat tahun lepas. Beliau juga pernah menjemput pemimpin-pemimpin agama lain baik Islam, Buddha mahupun Hindu ke Assisi, Itali untuk berdoa bersama-sama demi keamanan sejagat. Dengan pemergian John Paul II itu, timbul pula soal siapakah yang akan dilantik untuk menggantikan John Paul II?

Salib Bengkok


Bent CrossPerhatikan salib yang dipegang Paus Yohanes Paulus II. Perhatikan baik-baik, dan Anda akan menyadari bahwa salib itu bukanlah salib yang biasa digunakan orang Kristen seperti gambar di bawah. Salib yang dipegang Paus Yohanes II dikenal sebagai “Salib Bengkok”. Apa artinya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita merujuk kepada seorang pengarang Katolik Roma, Piers Compton, menulis dalam bukunya, “The Broken Cross: Hidden Hand In the Vatican”, Channel Islands, Neville Spearman, 1981.

Salib Bengkok adalah “… suatu lambang yang menakutkan, digunakan oleh satanis (penyembah setan) pada abad keenam, yang telah dihidupkan kembali pada masa Vatican Dua. Ini adalah salib bengkok, yang padanya dipertunjukkan suatu figur Al-Masih yang disimpangkan, yang mana tukang sihir pada Abad Pertengahan telah menggunakannya, pada kitab Injil diistilahkan ‘Tanda Beast’. Tidak hanya Paulus VI, tetapi para penggantinya, dua Yohanes Paulus, membawa benda tersebut dan memegangnya untuk dipuja-puja oleh jemaat, yang tidak pernah memahami bahwa itu mewakili Dajjal.” (hal. 72). Pada halaman 56, Compton mencetak gambar Sri Paus Yohanes Paulus II, memegang salib bengkok ini, seperti gambar di kiri atas.

CrossOleh karena itu, Paus Yohanes Paulus II sebenarnya memberitahukan semua penyembah setan di seluruh dunia bahwa ia bukanlah Paus Katholik, tetapi Paus yang mengemban tugas untuk mewujudkan New World Order (Tatanan Dunia Baru) berdasarkan rencana-rencana zionis. Hal ini juga dibahas oleh Malachi Martin dalam “The Keys to This Blood”.

Seperti Anda lihat, salib Paus Yohanes Paulus II yang dipegang menghadap jemaat, bukanlah salib biasa, tetapi salib bengkok satanis! Salib Bengkok diciptakan oleh satanis untuk melukiskan Dajjal! Segera, Anda akan melihat kemunculan seorang pemimpin global, yang mengaku sebagai Al-Masih, Mesiah Yahudi, dan sosok yang ditunggu-tunggu dalam semua agama besar. Padahal dia adalah Al-Masih palsu, dialah Masihud Dajjal. Kemudian, segera sesudah itu, seorang pemimpin religius akan maju kemuka untuk membantu Dajjal; pemimpin religius ini akan memiliki kuasa ajaib seperti Dajjal. Pemimpin religius itu adalah Paus yang diangkat dari kalangan Freemason.

New World Order meminta pemimpin religius global ini sebagai Paus Katolik Roma, dan pasti, Yohanes Paul II menggunakan Salib Bengkok Satanis ini adalah berkaitan dengan rencana tersebut. Jika Paus Yohanes Paulus II adalah yang maju untuk membantu Al-Masih Palsu itu, maka Anda akan mengetahui hakikat dari Paus ini dan hakikat dari Gereja Katholik Roma keseluruhannya.

Benedict XVI

Kamis, 28 Agustus 2008

Patung Katak Disalib Dianggap Menghina Tuhan


Jumat, 29 Agustus 2008 | 03:58 WIB

—ROMA, KAMIS — Sebuah museum di Italia menentang Paus Benediktus dan menolak melepaskan sebuah karya seni berupa patung katak berwarna hijau yang disalib dengan tangan memegang mug bir dan sebuah telur yang dianggap Vatikan sebagai penghujatan.

Dewan Museum Museion di utara kota Bolzano memutuskan berdasarkan suara terbanyak mereka tetap memasang kodok itu di tempatnya selama pameran berlangsung. Patung katak kayu yang dibuat seniman Jerman, Martin Kippenberger, ini sepanjang 1,30 meter dengan salib berwarna coklat. Katak ini dalam posisi disalib dengan tangan kanan memegang mug bir dan tangan kiri memegang sebuah telur.

Disebut Zuerst die Fuesse atau yang pertama kali adalah kaki, patung ini juga menjulurkan lidah. Hasil karya ini dipamerkan di Galeri Tate Modern dan Saatchi di London, juga di Bennale, Venisia. Rencananya, patung katak ini juga akan dipamerkan di Los Angeles dan New York.

Paus Benediktus yang orang Jerman dan sedang berlibur berada tidak jauh dari Bolzano jelas-jelas tidak setuju dengan pameran ini. Vatikan, atas nama Paus, telah menulis surat mendukung Franz Pahl, gubernur setempat yang menentang dipamerkannya patung ini. Dalam suratnya, Pahl mengatakan, "Patung ini telah menimbulkan sentimen agama dan melukai banyak orang yang melihat salib sebagai simbol cinta Tuhan."

Pahl, yang wilayahnya banyak didiami warga Katolik, begitu marah dengan hal ini. "Jelas-jelas ini bukan seni, melainkan penghujatan dan pelecehan yang mengecewakan banyak orang," ujarnya.

Tentu saja, kata Pahl, keputusan untuk tetap mempertahankan salib ini jelas tidak bisa diterima. Namun, para artis berkata lain. "Seni harus selalu bebas dan seniman seharusnya bebas berekspresi dan tidak semestinya dibatasi," ujar Claudio Strinati, pengawas Museum Negara Roma kepada koran Italia, Kamis.


ABD