Perilaku elite politik politik partai “kecil” yang menyangsikan kejurdilan Pemilu 1999 tanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bertingkah “inkonstitusional” dengan tetap bertahan diri meskipun partainya jelas-jelas tidak dipilih rakyat atau minta jatah kursi di parlemen yang amat-sangat tidak rasional, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan.
Tampaknya, menerima kekalahan menjadi sebuah idiom yang amal mahal harganya. Ada saja “manuver” yang mereka lontarkan untuk membentuk opini publik bahwa partainya telah dicurangi, dipinggirkan, atau dijegal.
Pada satu sisi, kondisi semacam itu memang bisa menjadi sinyal dinamika politik yang bertahun-tahun lamanya terpasung dalam belenggu rezim Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain, hal itu bisa memberikan citra demokrasi yang tidak sehat bagi rakyat, bahkan akan menjadi bumerang bagi elite politik itu sendiri dalam membangun dan mengibarkan bendera partainya pada masa-masa mendatang. Rakyat jadi kehilangan simpati dan kepereayaan.
Terlepas dari hiruk-pikuk politik yang hingga kini masih dan akan terus berlangsung, agenda penting dan urgen untuk segera digarap ialah membangun budaya demokrasi yang sehat, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi dan andal terhadap sikap fair, jujur, ksatria, elegan, dan lapang dada terhadap apa pun hasil yang telah disepakati bersama lewat proses demokrasi. Jangan sampai terjadi, “trik-trik” politik yang tidak sehat semacam itu menjadi “patron” dan referensi bagi generasi berikutnya dalam memangun demokrasi. Harus ada upaya serius dan intens untuk menyosialisasikan cara-cara demokrasi yang ideal secara simultan dan berkelanjutan.
***
Ironis memang. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk membangun Indonesia Baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih, berwibawa, reformatif, dan legitimated, justru tidak sedikit politisi yang berkarakter oportunis, arogan, dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan secara diametral terhadap prinsp-prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Padahal, harus diakui, mereka memiliki kualifikasi pendidikan formal yang tinggi. Bejibun jumlah politisi jeblan Sl, S2, S3, bahkan yang bergelar profesor sekalipun.
Fenomena di atas tentu menarik disimak, sebab ada kecenderungan asumsi, tinggi-rendahnya tingkat pendidikan tidak (kurang) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat. Kalau demikian. apakah selama ini duniapendidikan memang nihil dari sentuhan pembelajaran demokrasi? Tidak adakah ruang berdemokrasi dalam wacana pendidikan kita sehingga (nyaris) mandul dalam melahirkan demokrat-demokrat ulung, cerdas, dan andal? Upaya apakah yang mesti dilakukan agar dunia pendidikan mampu menaburkan benih-benih demokrasi kepada peserta didik’? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting dan relevan untuk dilontarkan dan dijawab, sebab kita semua tidak menginginkan dunia pendidikan kita terjebak menjadi ruang untuk “meng-karantina” peserta didik dari persoalan-persoalan riil kebangsaan dan steril dari budaya demokrasi.
Diakui atau tidak, terkesan ada “konspirasi” di tingkat elite penguasa Orde Baru untuk membikin sakit, bahkan mematikan atmosfer demokrasi dalam dunia pendidikan kita. Kebijakan yang disusun secara sentralisasi-otoriter — tanpa memperhatikan aspirasi arus bawah disadari atau tidak, telah menumbuhsuburkan virus “sindrom” yang antidemokrasi dalam bentuk indoktrinasi dan tekanan-tekanan terhadap praktisi pendidikan di lapangan. Beda pendapat “diharamkan”, daya inisiatif dimatikan. Sikap kritis pun ditabukan. Semua harus mendongak dan menanti petunjuk dari atas.
Sistem pendidikan berikut perangkat regulasinya telah dipola dan dikemas demi kepentingan kekuasaan an-sich. Sikap demokratis pun luput dari jangkauan pasal 4 UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Adakah di sana sikap demokratis menjadi salah satu aspek yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan naisonal? Sementara itu, mulai dari tingkat SD hingga SLTA, peserta didik telah dibiasakan untuk menjadi “anak Mami” yang manis, manutan, dan dilarang bertanya. Ruang belajar telah berubah fungsi menjadi tembok pemasung yang membelenggu kebebasan berpikir, berkreasi, bernalar, berinisiatif, dan berimajinasi. Beratnya beban kurikulum yang mesti dituntaskan telah membuat proses belajar-mengajar menjadi kehilangan ruang berdiskusi, berdialog, dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Sedangkan, di tingkat perguruan tinggi, mahasiswa dibutakan dari persoalan-persoalan politik praktis, mesti berkutat memburu ilmu di puncak menara gading yang hendak dijadikan “robot” penguasa dalam mengejar ambisi pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Akibatnya, setelah lulus mereka menjadi asing ditengah-tengah rakyat, tidak paham bahasa rakyat. Dalam kondisi demikian, mana mungkin out-put pendidikan kita mampu menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang berdialog? Mustahil mereka bisa menghargai perbedaan pendapat –sebagai salah satu esensi demokrasi– kalau iklim belajarnya berlangsung monolon.
Boleh jadi, memang sudah harus menjadi keniscayaan sejarah (historical necessity) jika dunia pendidikan kita selama ini “tertidur pulas” di atas “ranjang” rezim Orde Baru. “Nasi telah menjadi bubur,” kata orang. Belajar dari pengalaman buruk semacam itu, kini tiba saatnya dunia pendidikan diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi peserta didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat sejati yang punya rasa malu, rendah hati, berjiwa besar, toleran, memiliki landasan etik, moral, dan spirituaJ yang kokoh ketika bertarung dalam rimba polilik. Apalagi, era millenium ketiga yang diyakini akan menghadirkan banyak tantangan krusial dan perubahan global seiring dengan akselerasi keluar-masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia akan segera kita masuki, ranah demokrasi jelas akan ikut menjadi penentu citra, kredibiltias, dan akseptabilitas bangsa kita sebagai salah satu komunitas masyarakat dunia.
Itu artinya, mau atau tidak, dunia pendidikan –sebagai “kawah candradimuka” dalam mencetak sumber daya manusia yang bermutu dan profesional– harus mempersiapkan generasi yang demokratis, sehingga memiliki sikap resistence yang kokoh di tengah-tengah “konflik peradaban” (clash of civilization), di antaranya, pertama, sikap demokratis harus menjadi salah satu aspek yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan nasional. UU No. 2/1989 yang rnengebiri makna demokrasi bagi anak bangsa perlu direvisi dan dirumuskan kembali secara utuh dan komprehensif.
Kedua, kurikulum yang diberlakukan harus memberikan ruang yang ukup bagi peserta didik untuk belajar menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi. Mereka harus diberi kemerdekaan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan lewat debat, diskusi, dan adu argumentasi dengan tetap mengacu pada nilai kebenaran dan nilai luhur baku.
Dan ketiga, para birokrat dan praktisi pendidikan dituntut “good-will”-nya untuk memberikan teladan cara-cara berdemokrasi yang sehat. Dalam iklim masyarakat kita yang masih cenderung paternalistik, contoh dan tindakan nyata akan lebih bermakna ketimbang retorika maupun ucapan verbal lainnya.
Tidak kalah pentingnya, iklim demokrasi pun harus sudah mulai ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, sehingga institusi pendidikan lebih maksimal mengembangsuburkannya. Apabila iklim demokrasi tumbuh secara kondusif yang pada gilirannya akan menjadi sebuah budaya, maka rasa sakit hati, dendam, mencari-cari “kambing-hitam” akibat kekalahan dalam sebuah demokrasi tak akan terjadi. Yang menang pun tidak akan selalu menepuk dada. Dalam sebuah demokrasi, kalah dan menang adalah wujud dinamika yang indah dan niscaya. ***
(Suara Karya, 5 Agustus 1999)
Origami
-
Seorang penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia seorang penggubah origami.
Ia membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang
melayang. S...
12 tahun yang lalu
5 komentar:
Saya setuju dengan kalimat terakhir untuk memberi contoh kepada generasi muda agar memperbaiki segala kepercayaan yang telah hilang dari partai lain.
Dengan begitu rakyat akan dapat menerima sistem demokrasi yang berlaku dan Indonesia bisa lepas dari penderitaan yang telah dialaminya.
Persatuan pun akan amat erat dan tak ada lagi perpecahan.
Memang benar pada tingkat perguruan tinggi yaitu mahasiswa sudah tidak ada lagi pembelajaran untuk berbuat jujur dalam kehidupan bernegara. Oleh sebab itu, kita sebagai rakyat Indonesia harus bangga dengan demokrasi yabg sudah diterapkan di Indonesia ini dan.. Kita harus punya kesadaran diri untuk tidak merusak sistem yang memang sudah ada untuk mengatur kita. Sehingga kita sebagai generasi muda dapat bertindak jujur dan pastinya mendapat kepercayaan sari pihak-pihak yang lainnya dan menciptakan negara yang sudah sejak lama kita inginkan.
Meily Taurin
XI IPA 1
Saya setuju kalimat yang terdapat pada bacaan ini,karena kalimat kalimat ini memberi contoh yang baik di mata masyarakat umumnya kaum-kaum pelajar saat ini,agar persatuan dan kesatuan akan sangat erat dan tidak akan ada perpecahan yang sering di terjadi saat ini.Sering kali mahasiswa-mahasiswa tidak berbuat jujur saat bertindak,yang mengakibatkan kita terjerat dalam kesulitan.Makanya,kita harus punya kesadaran akan hal-hal yang kita lakukan dan tidak merusak sistem yang sudah ada saat ini,Sehingga kita sebagai generasi penerus bangsa akan mendapatkan kekuatan untuk menciptakan bangsa yang sangat jujur,tertib,aman dan tentram.
Raymond.W
X-d
saya setuju dengan teks ini...karena menurut saya teks ini memberikan contoh dalam hal positif bukan negatif pada generasi generasi kita kita sekarang...
karena pada teks di ats memberikan inspirasi inspirasi pada generasi muda sekarang..
oleh karena itu mulai dari sekarang kita harus mulai berbuat jujur,tertib,aman,dan tentram .
kita tidak boleh merusak fasilitas-fasilitas yang ada saat ini.sehingga kita dapat memajukan bangsa kita sekarang ini..
cukup sekian...terimaksih
Chris Simon
Xi-IPa 1
membangun budaya demokrasi melalui pendidikan sangatlah bagus,karena dengan melalui pendidikan,kita juga dapat mengetahui brapa besar pengetahuan anak-anak skolah ataupun mahasiswa/mahasiswi saat ini.
Memang benar pada tinggat perguruan tinggi/kuliah,budaya ini sudah di lupakan atau tidak di anggap ada dan ini yang merusak budaya itu,jadi kita harus punya kesadaran diri untuk tidak merusak budaya ini
YohanesDamasIddoYogananta
X-d
menurut saya
budaya demokrasi yg ada di bangsa ini semakin tidak di anggap ada karena perubahan zaman,tetapi ada beberapa yg masih menganggap budaya ini masih ada dan masih di pakai di masyarakat,seperti Demo-demo pelajar akan naik nya BBM.
tp di sisi lain,saya bangga terhadap budaya yg ada di indonesia,karena ada nya demo-demo tersebut,kita dapat mengetahui apa yg terjadi di luar masyarakat
Hardianto Tarana
X-d
Posting Komentar